Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Jumat, 21 Desember 2012

RINDU GENERASI PEMBERANI



Hari ini, kita menanti lahirnya para pemberani. Tak keluh lidahnya bicara kebenaran. Tak lemah langkahnya melihat kesulitan yang menghadang.

Pemberani bukan berarti kuat berkelahi melainkan karena himmahnya kepada akhirat, kuat berpegangan teguh kepada syariat, dan kokoh dalam mempertahankan kemurnian aqidahnya.

Pemberani bukan karena dirinya kuat, tetapi karena kemampuannya dalam mengendalikan syahwat dunia. Sang pemberani ditempa untuk tidak terbiasa dengan berhura-hura dan hidup berlebihan

Sekali lagi, hari ini, kita menunggu munculnya generasi yang PEMBERANI yang kepala mereka tegak tatkala berhadapan dengan manusia. Tidak merasa rendah diri karena berjumpa dengan manusia yang berpenampilan mewah. Tidak menyibukkan diri memuji manusia berdasarkan benda-benda yang dimiliki. Tidak memuliakan, tidak pula merendahkan manusia lainnya karena rupawan atau tidaknya. Tetapi mereka menilai manusia karena sikap, perjuangan, akhlak, dan kesungguhannya memperbaiki diri menjadi manusia bertakwa.

Keberanian seseorang dapat dimiliki karena merasa dirinya kuat. Keberanian juga dapat tumbuh karena keinginan untuk menjadi sosok yang membanggakan di hadapan manusia lainnya. Tetapi ingatlah, keberanian seperti itu selain tak bernilai di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, juga mudah runtuh saat mereka dihadapkan pada kesulitan serta tiadanya kenikmatan hidup.

Banyak hal yang memerlukan keberanian agar dapat menjalankan Islam dengan sempurna. Ada keberanian menghadapi ancaman dan ada pula keberanian yang terkait dengan kesiapan untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di sisi-Nya.

Berkaitan dengan keberanian untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla diperlukan kemampuan menahan diri. Tidak akan mampu seseorang menempuh jalan sulit karena ingin meraih ridha Allah Ta’ala, kecuali jika ia memiliki harga diri (‘izzah) yang kuat sebagai seorang Muslim. Dan tidak akan tumbuh ‘izzah yang kokoh, kecuali adanya ‘iffah. Dan ini memerlukan latihan panjang.

Tatkala anak dibesarkan di rumah, anak-anak memperoleh penguatan dari orangtua, saudara, dan anggota keluarga lainnya. Tetapi ketika anak tumbuh di sekolah dan agar tetap selaras dengan penguatan keluarga di rumahnya maka harus ada kebijakan pendidikan yang sengaja mengawal anak-anak agar belajar mengendalikan diri dan menjauhi hidup bermewah-mewahan.

Harus ada pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyyah) dari pendidik di sekolah. Harus pula ditumbuhkan suasana penghormatan terhadap sikap terpuji, kegigihan berusaha, integritas, semangat membantu orang lain, kesabaran dan keimanan. Tanpa itu semua, keberanian sejati serta kendali diri hanya menjadi pengetahuan semata.

Bila sekolah dan lingkungan keluarga tidak memiliki semangat untuk melatih semua itu, maka diperlukan adanya Lingkungan Tarbiyah selain Sekolah dan Keluarga yang memiliki tujuan Mendidik dan Membimbing Ruhiyah generasi kita. 

Sebagai awalan dalam membentuk SIKAP PEMBERANI mari kita hayati dan maknai sejenak nasehat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah, Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnul Ja’d, “Jauhilah orang yang hanyut dalam kemewahan dan senang berhias dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan berpakaianlah secara sederhana (tidak mewah).”

Semoga kita semua mampu membina diri dan keluarga menjadi PEMBERANI sejati, berawal dengan melatih diri  untuk menjauhi kemewahan dan senang hidup dalam kesederhanaan.

Read More......

Kamis, 25 Oktober 2012

Menyelenggarakan Benteng Islam


benteng Islam (judul)
benteng Islam-1
benteng islam-2
benteng islam-3

Read More......

Kewajiban Umat Islam Menghadapi Dunia Baru


Pengantar :

Kuburmu dicari, jejakmu ditelusuri, ajaranmu dikaji, Mujahid tak pernah mati~ S.M. Kartosoewirjo, seorang pejuang yang konsisten dalam mengarungi hidup di empat jaman,  zaman Belanda, zaman Jepang, zaman Kemerdekaan sampai zaman Orde Lama, beliau tetap istiqomah melawan penjajahan, anti penindasan dan membela Islam serta Umat Islam. Kepiawaiannya menapak jejak perjuangan Rosululloh  dan mampu meletakan langkah perjuangannya dalam konteks ke-Indonesia-an. Kesadaran sampai akhir hayatnya tidak lepas dari keyakinan  akan pegangan hidupnya yaitu Tauhid Kholisan Lillah . Berikut ini sebuah tulisan SM Kartosoewirjo yang dimuat di Majalah M.I.A.I yang terbit pada masa zaman Jepang 15 Mei 1943, diusia beliau waktu itu belum genap 40 tahun. Sebuah tulisan yang menjadi bahan perenungan hari ini, akan kewajiban umat Islam untuk tampil di garis depan perubahan, jangan sebagai umat seperti “bangkai yang hidup” atau “sampah dalam masyarakat”. Sebuah kehidupan yang akan dipertanggung jawabkan di akherat kelak.  (Sumber asli bisa di akses disini)

Sejak mula manusia dilahirkan oleh Allah di dunia, maka sejak itu pula tumbuhlah hubungan ikat-mengikat antara dia dengan ‘alam mumkin sekelilingnya. Maka ‘alam itu menjadi sebab dan jembatan, menjadi syarat perjalanan dan lapang hidup, melakukan pelbagai perjuangan menentukan nasibnya, di kelak kemudian hari.
‘Alam syahadah sekeliling manusia dan dirinya pribadi itu, sepanjang faham setengahnya kaum ‘Ulama dan Hukama, dinamakan “dunia”.
“Dunia” yang menjadi syarat hidup dan “dunia” yang menjadi bekal mati.
Syahdan, seorang anak (bayi) lahir di dunia menghadapi ibunya, yang menyusui dan memelihara dia, dengan kasih-sayangnya. Menghadapi ayah, yang mencintai dia dan bertanggung jawab atas didikan dan pelajaran yang harus diberikan kepada anak itu. Ketemu dengan kakek-nenek, paman-bibi dan sanak kerabat lainnya. Wal hasil, sejak itulah ia dihidupkan Allah di tengan-tengah “dunia” kecil, dalam lingkungan keluarga kecil, di kalangan rumah tangga ibu ayahnya.
Jika di anak dipanjangkan umurnya, maka dengan berkat karunia Ilahy dan pemeliharaan ibu-ayah yang mencintainya itu, si bayi makin lama makin besar dan subur daan terpisah dari susu ibunya. Ia dimasukan sekolah, madrasah atau pesantren, menghadapi guru atau kiayi, yang memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya sehari-harinya. Dalam pada si anak bersekolah atau “mesantren” itu, dengan karena tabi’at ‘alam yang terkandung dalam dirinya, maka ia perlu kepada ‘alam yang lebih luas dan perlu pula kawan yang lebih banyak. Pada masa itu ia hidup dalam lingkungan “dunia” kanak-kanak, hidup dalam kalangan keluarga yang agak besar.
Selanjutnya, jika ia keluar dari bangku sekolah atau “pesantren”, lepas dari thalab ‘ilmudi berbagai-bagai taman pendidikan dan pelajaran, dan bilamana dengan Kehendak Allah ia mencapai umur dewasa, maka sampailah ia kepada tingkat “baligh” atau “mukallaf”.
Ialah tingkat manusia, yang menuntut pertanggung jawaban atas perjalanan dirinya pribadi dan ‘alam sekelilingnya. Tingkat manusia, yang mendorong dia terjun dalam lingkungan yang keluarga yang besar dan mulai belajar hidup dalam “dunia” pergaulan hidup bersamanya, bertolak dari pelabuhan tempat berteduh dan mengarungi lautan hidup yang amat luas dan dalam itu.
Karena bawaan (chilqah) dirinya, ia perlu hidup bersuami isteri, perlu menghubungkan tali ikatan rumah tangganya dengan rumah tangga lainnya, perlu hidup dalam pergaulan (sosial) dan dalam pencarian rizki (ekonomi). Maka pelajaran hidup yang mula pertama ini menghendaki ketabahan hati, kesabaran, keinsyafan, kebulatan niat dan keuletan bekerja, karena pertanggung jawab yang penuh-penuh atas keselamatan bersama.
Maka keluarga yang lebih besar, yang merupakan masyarakat itu, bertambah hari makin bertambah meluas. Dari rumah tangga sendiri menjadi dukuh dan kampung, dari kampung menjadi desa (Ku), dari desa menjadi Son, Gun, Ken dan Sjuu sampai akhirnya menjadi Djawa Baroe. Maka keluarga se-Djawa Baroe itu pun hanya merupakan salah satu bagian kecil dalam lingkungan keluarga se-Asia Timoer Raya.
Oleh sebab itu, dengan karena kedudukan dan tempat tinggal, dengan karena peredaran zaman dan pembaruan masyarakat, maka mau tidak mau tiap-tiap orang dan tiap-tiap golongan menjadi salah satu anggota dari Keluarga Besar, Keluarga Asia Tomoer Raya.
Bandingkan dengan ajaran Islam, yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 213 dan surat Yunus ayat 19 !
Maka karena ikatan Keluarga Besar itu, tiap-tiap bagiannya (yang kecil ataupun yang besar) harus merasa wajib ikut bekerja, membantu dan menyokong dengan sepenuh-penuhnya keyakinan dan kesadaran, dalam usaha mengejar dan mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya. Kema’muran, yang sanggup menyelamatkan 1.000 juta jiwa manusia, dalam tiap-tiap lapisan dan keperluannya.
Apakah gerangan kewajiban kita? Agaknya orang menanya.
Maka jawabnya ialah : kewajiban yang terutama bagi Umat Islam, yang juga menjadi bagian Keluarga Besar itu : ” Menyokong dan membantu usaha dalam mengikhtiarkan tercapainya Kema’muran Bersama, disampingnya dan bersama-sama dengan bagian-bagian Kelurga yang lainnya”.
Tetapi……. sokongan dan bantuan itu tidak “cuma” merupakan cerita yang menggelora atau dongeng yang mendahsyatkan dan mengharukan, dan tidak pula cukup dengan “suara halilintar yang menyambar-nyambar”. Melainkan harus berwujudkan ‘amal yang nyata, ‘amal yang berharga, ‘amal yang hanya diperuntukan bagi keperluan diri pribadi atau golongan sendiri saja. Maka pada prakteknya agak sukarlah membedakan dan memisahkan kedua macam ‘amal itu. Lantaran tidak jarang kita dapat menyaksikan, orang mengejar “keperluan sendiri” dengan berselimutkan “keperluan umum”. Sekarang rupanya bukan lagi waktunya, untuk mempertontonkan “permainan tonil dunia” yang serupa itu, yang hanya mendidik sifat dan tabiat “munafik” semata-mata.
Kiranya baik juga, satu-dua tamsil diketengahkan, unutk membandingkan wujud dan sifatnya ‘amal yang boleh dan yang tidak boleh menjadi sokongan dan bantuan.
Tamsil 1. Si A dan Si B. berkawan, berjalan bersama-sama dan menuju satu maksud yang sama. Si A adalah seorang yang kuat, tangkas dan berani, sedang Si B adalah seorang yang lemah dan malas usaha lagi penakut. Apa akibatnya? Maksudnya mungkin sampai, usaha mungkin putus di tengah jalan, karena sifat B yang menghambat dan mencegah tercapainya maksud itu.
Tamsil 2. Si A ingin bekerja bersama-sama dengan Si B. Tapi si A adalah yang lumpuh, tiada berdaya dan kemauannya pun amat lembek sehingga seumur hidupnya ia cuma menjadi “sampah masyarakat”. Walaupun si B besar himmahnya dan bersungguh-sungguh dalam ‘amal perbuatannya, disertai pula dengan tulus dan setia hati yang penuh, tetapi adanya si A, disamping si B itu tidak pula menambah besar dan pesatnya perjalanan dan mungkin menjauhkan maksud yang dituju.
Maka adanya si A tersebut tidaklah sekali-kali menyokong dan membantu tercapainya maksud, melainkan sebaliknya.
Hatta, maka dengan gambaran ringkas di atas cukuplah kiranya bagi kita, bahwa niat dan usaha Umat Islam untuk memberi sokongan dan bantuan dalam ikhtiar mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya itu, harus dan wajiblah merupakan ‘amal yang berharga dan yang diharapkan oleh tiap-tiap bagian Keluarga Besar itu.
Oleh sebab itu, maka pada hemat kita pada zaman panca-roba ini Umat Islam tidak boleh sekali-kali lemah-hati, putus asa atau mengurangkan usaha. Malah sebaliknya, harus dan wajiblah Umat Islam berdiri tegak teguh di belakang garis peperangan yang dahsyat ini, dan membangunkan suatu “Benteng Islam” yang kuat lagi sentausa, dlohir dan bathinm keluar maupun ke dalam.
Sebab, bila Umat Islam masih juga merupakan “bangkai yang hidup” atau “sampah masyarakat”, atau sesuatu yang tidak tentu bentuk, sifat dan wujudnya, laksana “terapung tak hanyut, terendam tak basah” janganlah diharapkan yang Umat Islam akan memperoleh penghargaan siapa pun juga.
Sekaranglah waktunya Umat Islam menentukan nasibnya buat Hari Kemudian !
“Jika kayu ia timbul, jika batu ia tenggelam !!!”
Cukuplah tidur nyenyak lebih dari 300 tahun lamanya – lebih dari tidur Ashabul Kahfi– dibawah selimut Fir’aun-Belanda,  yang pandai menyanyikan lagu “nina bobo” itu !.
Tumpahkanlah tenaga, fikiran dan harta kita untuk membimbing dan membentuk “Benteng Islam” itu! Satu “Benteng” yang diperdirikan atas dasar ikhlas dan suci hati, dan tersimpan rapat dalam tiap-tiap hati Mu’min dan Muslim! Satu “Benteng” yang mengikat dan mengeratkan tali persaudaraan (musabahah dan ukhuwwah) antara tiap-tiap bagian dan lapisan seluruh penduduk Asia Timoer Raya! Satu “Benteng” yang dibentuk oleh tiap-tiap hamba Allah, yang ingin Muhabbah dan Taqarub kepada Azza wa Djalla semata-mata!.
Jika Umat Islam sudah sadar, insaf dan tahu sungguh-sungguh melakukan kewajibanya dalam Agama, Insya Allah nasib Umat Islam tidak akan memalukan dan memilukan hati, dan akan dapat menjadikan kekuatan dan ‘amal perbuatan  yang berharga dan membentuk “Dunia Baru”, “Dunia Bahagia” yang mengandung “Kema’muran Bersama”.
Tahukah kita, bahwa Dunia yang kita injak dan kita hadapi ini menjadi “Jembatan dan Jalan” menuju “Darul Akhirah” kelak?
Sadarkah kita, bahwa ‘amal yang diperbuat semasa hidup di Dunia akan menjadi “Mizan Nasib” nanti di Yaum al Hisab?
Insafkah kita, bahwa perbuatan kita yang baik (Ihsan) selagi hidup di Dunia menjadi pertanggungan yang istimewa, bagi mencapai Kemuliaan dan Bahagia, bila telah tiba masanya kita dimasukan dalam “Alam di balik Qubur” ?
Yakinkah kita, bahwa Iman yang teguh serta Tauhid yang sentausa dan Islam yang sempurna (‘amal salih) akan merupakan kunci yang membuka pintu Dar-oel Islam danDar-oes-Salam, tempat keselamatan dunia dan akhirat?
Percayakah kita, dengan tiada was-was dan sjak sedikitpun juga, bahwa Allah swt, akan mencukupi segenap janji-Nya (Wa’ad dan wa’id), jika kita suka berpegangan teguh dan kuat akan “janji-janji kita kepada Allah” sejak di ‘alam arwah hingga kini?
Kemudian daripada itu, jika kita telah tahu dan mengerti, sadar dan insyaf, yakin dan percaya, bahwa nasib Umat Islam terletak di tanganya Umat Islam sendiri, Insya Allah hati kita akan dilapangkan, dan ‘amal kita akan diluaskan oleh Allah, bagi mensesuaikan diri dengan tuntutan masa dan kehendak zaman, sehingga tumbuhlah Ummat Baru, Ummat Wasath, Ummat yang terpilih, Umat yang sanggup bekerja bagi keselamatan dunia, terutama lingkungan Keluarga Asia Timoer Raya.
Insya Allah, pertegas dan penjelasan dalam hal ini, akan dihidangkan dalam “Soeara Miai” yang lagi akan terbit.
Mudah-mudahan usaha suci yang sebaik itu disertai kurnia dan perkenan Ilahy, hingga manfaat dan mashlahat yang boleh tumbuh daripadanya, meresap dan meliputilah hendaknya segenap Umat Islam dan seluruh tubuhnya Keluarga Besar, Asia Timoer Raya, jua adanya.
Amin.

Read More......

Cerita Dibalik Supersemar



11 Maret 1966, sejarah Indonesia mengalami titik balik. Sebuah rezim mulai runtuh. Dan sebuah babak baru lahir. Instrumen yang mengubah sejarah itu cuma secarik kertas, yang ditandatangani Presiden Soekarno hari itu: Surat Perintah Sebelas Maret, biasa disingkat Supersemar. Lewat surat itu Presiden Soekarno memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto, waktu itu Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil “segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi”. Lewat surat itulah kekuasaan Presiden Soekarno mulai terkikis. Dan Jenderal Soeharto muncul sebagai pimpinan nasional yang baru.
Menjelang 11 Maret 1971 itu Presiden Soeharto untuk pertama kali menjelaskan latar belakang dan sejarah lahirnya Supersemar karena, katanya, rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya. “Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan memberi isi kemerdekaan,” ujarnya. Intisari penjelasan Kepala Negara: ia tidak pernah menganggap SP 11 Maret itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. “Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup secara terselubung,” katanya tegas.
Supersemar memang peristiwa yang bersejarah. Ada yang menyebutnya “tonggak sejarah Orde Baru”, atau “Momentum Orde Baru”. Presiden Soeharto sendiri menyebutnya “Awal Perjuangan Orde Baru”. Meski telah beberapa kali dilakukan usaha merekonstruksikan peristiwa itu, antara lain pada 1976 oleh Pusat Sejarah ABRI yang waktu itu dipimpin Nugroho Notosusanto (almarhum), masih sering terjadi kesimpangsiuran mengenai peristiwa penting itu. Misalnya yang terjadi pada 1982, tatkala muncul kisah lahirnya Supersemar versi Hasjim Ning, yang kemudian dibantah sendiri oleh pengusaha tersebut. Tampaknya, belum semua hal terungkap seputar kelahiran Supersemar. Bukan cuma itu saja. Di sana-sini masih ada cerita yang tidak klop. Mungkin pelacakan secara lengkap perlu dilakukan, mumpung banyak pelakunya masih ada. Surat asli Supersemar sendiri kabarnya hingga kini masih hilang. Maklum, di saat itu keadaan cukup kacau hingga mungkin kesadaran mendokumentasi masih kurang.

Alkisah……

Istana Bogor, Jumat 11 Maret 1966. Deru suara helikopter memecah keheningan Istana sekitar pukul 11 siang. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di lapangan Istana.
“Kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput suaminya.
Presiden Soekarno tiap Jumat sore memang menginap di Istana Bogor, dan kembali ke Istana Merdeka Senin pagi. Dengan dikawal Brigjen Sabur, ajudan Presiden sekaligus Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden), Bung Karno, yang berpakaian uniform presiden warna abu-abu, memasuki pavilyun. Ia memakai pici, dan tak lupa membawa tongkatnya.
“Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas,” ucap Ny. Hartini. Bung Karno, yang datang dengan muka keruh, hanya menjawab pendek, “Tien, keadaan genting.” Soekarno kemudian masuk kamar, berganti pakaian. Ia sembahyang lohor dan makan siang.
Menu siang itu: sayur lodeh, tahu, dan tempe — makanan kesukaan Bung Karno. “Bapak hanya makan sedikit. Kelihatannya nafsu makannya tidak baik,” cerita Ny. Hartini. Selesai makan siang, Soekarno beristirahat. Saat itu sekitar pukul satu siang.
Tak lama kemudian deru helikopter yang mendarat menggemuruh lagi. Isinya Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Subandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. “Mereka menuju pavilyun saya, yang terletak di sebelah kiri pavilyun Bung Karno, dan saya persilakan duduk. Pak Sabur datang dan berbicara dengan mereka. Ia lalu mengantar mereka ke pavilyun yang disediakan untuk tamu,” kata Mangil Martowidjojo, yang saat itu menjabat Komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Cakrabirawa.
Sekitar pukul 2, sebuah helikopter mendarat lagi. Kali ini yang turun Menteri Veteran Mayjen Basoeki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen Jusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Machmud. Semuanya berseragam militer. Mereka langsung menuju pavilyun tempat pengawal, dan disambut Sabur. “Bur, kami datang ingin ketemu Bapak,” kata Basoeki Rahmat. Sabur menjelaskan, Bung Karno sedang beristirahat. “Kalau begitu, akan kami tunggu,” jawab Basoeki Rahmat. Seingat Ny. Hartini, Bung Karno siang itu beristirahat sekitar dua jam.
Kira-kira pukul 14.30 (ini menurut penuturan Jenderal Jusuf pada 1973), Sabur datang dan mengatakan Bung Karno bisa ditemui. Ketiga jenderal itu lalu dibawa ke ruang tamu Istana yang dindingnya bercat putih itu. Soekarno yang mengenakan celana kolor dan kaus oblong putih menerima mereka. Raut mukanya keruh. “Mau apa kalian ke sini?”tanyanya. Basoeki Rahmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan itu memulai berbicara, mewakili yang lain. “Kami sengaja datang untuk menemui Bapak untuk menunjukkan kami tidak meninggalkan Bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa telah ditinggalkan oleh ABRI, oleh Angkatan Darat. Kami menyesalkan terjadinya peristiwa pagi tadi. Tapi kami harap Bapak Presiden tidak terpengaruh oleh kejadian itu.”
Sikap Bung Karno ternyata masih keras. “Apa? Kau bilang aku jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah? Kau mengatakan Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu, Angkatan Darat ikut demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan anggota RPKAD dan Kostrad di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa kalau bukan untuk menyerang saya?”
Kemarahan Bung Karno bisa dimengerti. Pagi 11 Maret itu di Istana Negara ada sidang kabinet. Sebelum sidang dimulai, Presiden Soekarno menanyakan pada Amir Machmud apakah situasi aman hingga sidang kabinet bisa dilangsungkan. Pangdam V Jaya ini memberikan jaminannya bahwa situasi aman. Namun, di tengah sidang, mendadak Brigien Sabur menyampaikan suatu nota kepada Presiden Soekarno. Isinya ternyata laporan tentang adanya pasukan tak dikenal, karena tak memakai tanda pengenal, meski memakai senjata, di sekeliling Istana. Setelak berbicara dengan Subandrio, Bung Karno lalu menskors sidang, dan menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam Leimena.
Rupanya, laporan tentang munculnya “pasukan liar” itu mengguncangkan Presiden Soekarno, yang tampaknya menduga, pasukan itu dikerahkan pihak Angkatan Darat yang menentangnya. Karena itulah ia menghentikan sidang kabinet, meninggalkan istana, dan menuju ke helikopter, diikuti Subandrio yang terbirit-birit hingga sepatunya tertinggal, serta Chaerul Saleh. Bung Karno, yang mungkin merasa situasi Jakarta terlalu panas, terbang ke Istana Bogor.
Hari-hari itu suasana Jakarta memang panas dan bergolak. Hampir tiap hari terjadi demonstrasi KAMI dan KAPPI. Lima bulan setelah Peristiwa G-30-S/PKI, penyelesaian politik yang dijanjikan Presiden Soekarno belum juga terjadi. Meski kegiatan PKI telah dilarang oleh sejumlah penguasa militer, secara resmi PKI belum dibubarkan. Sementara itu, situasi ekonomi makin parah. Pemerintah pada 13 Desember 1965 telah memotong nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak. Masyarakat merasa gelisah. Demonstrasi-demonstrasi itu umumnya diorganisasikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang makin lama tumbuh makin besar dan kuat. Corat-coret dan yelyel para demonstran itu keras dan menuding pemerintah: “Turunkan harga beras”, “Singkirkan menteri-menteri yang tidak becus”, atau “Ganyang Subandrio”. Waperdam Subandrio memang menjadi sasaran, karena ia — yang kemudian mendapat julukan Durno — dianggap “dekat” dengan PKI. Namun, terhadap Presiden Soekarno, para mahasiswa dan pemuda masih bersikap toleran. Yel-yel “Hidup Bung Karno” masih diteriakkan para demonstran itu. Pada 10 Januari 1966 dicetuskanlah Tri tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda makin menghebat. Meski menyerang pemerintah dengan tuntutan seperti “Ritul Menteri Goblok”, belum muncul kecaman langsung terhadap Presiden Soekarno. Para pemimpin mahasiswa malah berkata: aksi-aksi mahasiswa itu selalu sejalan dengan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Bung Karno sendiri menuduh, kerusuhan dan keguncangan yang terjadi didalangi oleh pihak kontrarevolusi dan nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) yang mau menjatuhkan dia. Dalam suatu sidang kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966 dengan marah ia berseru, “Ini Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang mau ikut saya, ikutlah. Saya yang bertanggung jawab pada Revolusi. Ini aku Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang senang pada Soekarno, ayo susun barisan, pertahankan, kumpulkan barisan. Jangan bertindak liar. Tunggulah komando saya. Saya tidak mau didongkel-dongkel dari belakang.”
Kekuasaan Presiden Soekarno saat itu memang masih besar. Meski banyak yang tidak puas dengan sikapnya yang dianggap melindungi PKI dengan menolak desakan untuk membubarkan partai itu, serta cara penanganan masalah ekonomi yang payah, kedudukannya bagai tak tergoyahkan. Sebagian ABRI waktu itu, terutama AL, AU, dan Kepolisian, mendukung dia. Karena seruan Bung Karno, atas ajakan Subandrio dibentuklah Barisan Soekarno. Dalam pidato radionya, Subandrio juga mengecam keras aksi-aksi mahasiswa, yang dinilainya melampaui batas kesopanan. “Apakah perbuatan mahasiswa itu benar-benar berasal dari mereka sendiri? Ataukah penunggangan dari musuh-musuh revolusi, baik nekolim dari luar maupun kontrarevolusi dari dalam, yang menyelewengkan niat baik mahasiswa kita?” katanya. Tuduhan Subandrio ini menggusarkan mahasiswa. Serta merta Subandrio dijuluki “Anjing Peking” atau “Haji Peking”.
Meski Pepelrada Jaya sejak 16 Januari melarang demonstrasi, para mahasiswa melawannya dengan mengirim delegasi-delegasi menemui para pejabat. Bentrokan fisik mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dengan kelompok pemuda dan mahasiswa marhaen mulai terjadi di beberapa tempat. Dengan berbagai cara, antara lain gerak jalan, pawai, atau apel siaga, aksi-aksi pemuda dan mahaslswa berjalan terus.
Pada 21 Februari Presiden Soekarno merombak kabinet. Susunan kabinet yang baru ternyata tidak memuaskan banyak pihak, termasuk para mahasiswa, karena sejumlah menteri dianggap dekat atau pro-PKI dipertahankan atau dimasukkan. Dengan dalih mengadakan “Apel Besar Kesetiaan pada Presiden Soekarno”, pada 23 Februari KAMI menyelenggarakan demonstrasi lagi. Tatkala berniat “menyampaikan resolusi” ke Sekretariat Negara, terjadi bentrokan dengan petugas keamanan. Beberapa mahasiswa terluka kena tembakan. Mahasiswa yang marah lalu merusakkan kantor Setneg.
Kamis 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora yang disempurnakan – yang diejek sebagai Kabinet 100 Menteri — akan dilantik. Para mahasiswa sejak pagi buta melancarkan aksi pengempisan ban di jalan-jalan utama Jakarta. Jakarta macet total. Pelantikan berjalan terus, meski sebagian menteri harus dijemput dengan helikopter atau dengan berbagai cara menembus demonstrasi yang mengepung Istana. Di tengah kegalauan itu terdengar suara tembakan. Beberapa demonstran tertembak. Seorang di antaranya, Arief Rachman Hakim, tewas, kena tembakan pasukan Cakrabirawa. Esoknya, upacara penguburan Arief — yang diperlakukan sebagai martir — dilanjutkan dengan aksi unjuk perasaan. Ratusan ribu orang memadati jalan dan menyaksikan iringan jenazah menuju pemakaman Blok P, Kebayoran Baru. Sorenya, muncul sas-sus pasukan Cakra akan menyerang kampus UI Salemba, yang dijadikan markas mahasiswa. Beberapa panser Kostrad segera dikirim ke UI untuk menjaga. Para pimpinan mahasiswa dilindungi, dan mereka, ‘antara lain Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Lim Bian Kun, menginap di markas Kopur Kostrad. Yang terjadi selama aksi demonstrasi berlangsung memang itu: para mahasiswa mendapat dukungan dan bekerja sama dengan sebagian Angkatan Darat, terutama RPKAD dan Kostrad.
Karena itu, meski sejak 26 Februari KAMI dibubarkan pemerintah, aksi demonstrasi menuntut pelaksanaan Tritura bisa berjalan terus, antara lain lewat KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) yang dibentuk pada 9 Februari 1966. Timbul ide di kalangan pimpinan Kostrad untuk mengerahkan pasukan tanpa tanda pengenal di sekeliling Istana, menurut Kepala Staf Kostrad waktu itu, Kemal Idris, guna mencoba menangkap Subandrio serta mengawasi gerakan pasukan Cakrabirawa. Di samping itu, pengerahan sekitar 200 orang pasukan RPKAD dan Kostrad tanpa tanda pengenal itu,juga untuk melindungi aksi-aksi mahasiswa dan pemuda. “Pak Harto sudah berpesan pada saya, supaya melindungi anak-anak muda tersebut dari serangan Cakrabirawa,”ujar Kemal Idris, waktu itu Kepala Staf Kostrad. Menurut Kemal, Jenderal Soeharto menaruh harapan pada anak-anak muda yang mendemonstrasi kepemimpinan Bung Karno tersebut. Kemal saat itu dianggap dekat dengan para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI. Kepala Staf Kostrad itu juga ditugasi memimpin semua pasukan yang ada di Jakarta. “Terutama dari Angkatan Darat, mengingat KKO dan Angkatan Udara waktu itu tidak bisa dipercaya.
Memang dari Angkatan Darat sendiri juga ada yang terlibat G-30-S/PKI tapi bisa kami atasi,” kata Kemal. Amir Machmud, sebagai Pangdam V Jaya, ketika itu membawahkan pasukan teritorial, tapi secara operasional di bawah Kemal Idris. Sedangkan Umar Wirahadikusumah, sebagai Panglima Kostrad, berada di atas Kemal. Meski dengan berbagai cara berusaha menekan Bung Karno, menurut penegasan sejumlah tokoh AD, saat itu tidak ada maksud Angkatan Darat untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.
Tekanan tersebut tampaknya untuk mendesak Presiden Soekarno agar segera melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa G-30-S/PKI dengan secara formal membubarkan PKI. Namun, Bung Karno waktu itu selalu mengatakan: selama keadaan dalam negeri belum lagi tenang, ia susah untuk mengambil keputusan tentang penyelesaian politik itu. Misalnya dalam pidatonya 23 Januari 1966, Bung Karno berkata, “Aku berulang-ulang minta tenang, tenang, dan apa yang kita lihat dan apa yang kita saksikan? Tenang tenang ini tidak ada, mana pula belakangan ini timbul demonstrasi macam-macam.” Di dalam konstelasi politik saat itu, Angkatan Darat merupakan kekuatan yang menentukan. Posisi sepuluh parpol yang ada waktu itu kurang kuat, terutama karena sebagian besar pimpinannya dinilai pernah bekerja sama dengan PKI. Sikap mereka ketika itu, oleh pihak mahasiswa, dianggap plintat-plintut dan menentang aksi mahasiswa.
Pada 10 Maret, seusai pertemuan dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, misalnya, para pimpinan parpol mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa membenarkan cara yang digunakan pelajar, mahasiswa, dan pemuda “yang bisa membahayakan jalannya revolusi dan merongrong kewibawaan PBR Bung Karno.” Mereka juga bertekad bulat “untuk melaksanakan tanpa reserve” perintah harian Presiden Soekarno 8 Maret. Perintah harian itu sendiri pada pokoknya memerintahkan pada seluruh slagorde ABRI, parpol, Golkar, dan ormas untuk “mempertinggi kewaspadaan menghadapi segala macam penyusupan dan hasutan yang bermaksud memecah belah persatuan.” Di samping itu, juga “menghancurkan segala usah yang merongrong kewibawaan, kepemimpinan dan kebijaksanaa PBR/Presiden/Mandataris MPRS Bung Karno.” Meski begitu, sebagian kecil pimpinan parpol, terutama yang bergabung dalam Komando Aksi Pengganyangan Gestapu, bekerja sama dengan mahasiswa dan pemuda dan AD, menentang Presiden Soekarno.
Hingga sampailah hari itu, 11 Maret 1966. Bung Karno, yang tampaknya panik oleh kehadiran “pasukan tak dikenal” di sekitar Istana, menyingkir ke Bogor. Sidang kabinet kemudian dibubarkan Waperdam Leimena. Keluar dari Istana, kebetulan Basoeki Rahmat, M. Jusuf, dan Amir Machmud berjalan bersama. Jusuf mengajak keduanya untuk pergi menemui Bung Karno di Bogor dan berbincang-bincang, sehingga Bung Karno tidak merasa telah ditinggal Angkatan Darat. Keduanya bersedia. Menteri/Wakil Menko Hankam Mayjen Mursid, yang waktu itu hadir dan ikut diajak, menolak. Menurut Amirmachmud, ia mengusulkan agar mereka melapor dulu ke Pak Harto. Bertiga mereka kemudian pergi ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Hari itu kesehatan Pak Harto terganggu hingga tidak dapat menghadiri sidang kabinet. “Pada waktu menghadap Pak Harto itu, kami menjelaskan jalannya sidang kabinet. Kemudian kami meminta izin kepada Pak Harto untuk pergi ke Bogor dengan maksud untuk menenteramkan Bung Karno,” cerita Amir Machmud. Mereka juga menanyakan apakah Pak Harto ada pesan yang perlu disampaikan pada Bung Karno.
Menurut Amir Machmud, Pak Harto waktu itu mengatakan, “Pertama, sampaikan salam saya kepada Bung Karno. Kedua Bung Karno tak usah khawatir. Kita sanggup menyelamatkan Pancasila, UUD 1945, menyelamatkan Revolusi Indonesia dan memelihara keamanan, asal diberi kepercayaan untuk itu.” Jadi, ‘kata Amir Machmud, Pak Harto tidak pernah membicarakan kemungkinan adanya surat perintah seperti Supersemar itu.
Sikap Soeharto kepada Soekarno waktu itu memang menunjukkan sikap anak kepada bapak. Itu juga terlihat dari suatu dialog antara Pak Harto, yang waktu sudah diangkat menjadi Pangkopkamtib, dan Bung Karno, di Istana Merdeka, di awal 1966, di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta. Waktu itu Bung Karno menanyakan pada Pak Harto,:
“Harto, aku ini akan kamu apakan? Aku ini pemimpinmu. Aku iki arep tok kapakke”
“Bapak Presiden,” jawab Pak Harto, “saya ini anak petani miskin.’Tetapi ayah saya selalu mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkan untuk mikul duur mendem jero (menghormat) terhadap orangtua.”
“Bagus,” jawab Bung Karno.
“Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orangtua saya. Bagi saya, bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orangtua saya. Saya selalu ingin mikul dulaur terhadap Bapak. Sayang, yang mau dipikul duvur mendem jero tidak mau,” kata Pak Harto.
“Betul begitu, To?”
“Betul, Pak. Insya Allah. Soalnya tergantung Bapak.”
“Nah. Kalau betul kau masih menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka sudah keterlaluan. Tidak sopan. Liar. Mereka sudah tidak sopan dan hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau, kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”
“Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai G-30-S/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena itu yang dituntut oleh mereka.”
“Penyelesaian politik G-30-S/PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan tetap menghormati kepemimpinanku.”
“Tak pernah goyah, Pak.”
“Kalau begitu, laksanakan perintahku,” kata Bung Karno. Pak Harto tidak menjawab. Bung Karno juga terdiam.
Menilik dialog semacam itu, bisa dimengerti kalau Bung Karno juga meledak-ledak ketika tiga jenderal, Basoeki Rahmat, Jusuf, dan Amir Machmud, menemuinya, siang 11 Maret 1966 itu. Ia memarahi Amir Machmud, yang selalu melapor bahwa keadaan aman.
“Apanya yang aman? Demonstrasi berlangsung terus. Kau itu penanggung jawab keamanan Ibu Kota. Apa yang kau lakukan untuk menghentikan demonstrasi itu?” Ia juga menegur Basoeki Rahmat dan Jusuf.
“Kalian juga tidak berbuat apa-apa.” Ia menuduh ketiga jenderal itu berpura-pura, dan sebenarnya ingin agar Soekarno jatuh.
Mereka bertiga membantah. Kata Basoeki Rahmat, “Itu tidak benar, Pak. Tidak ada niat meninggalkan Bapak. Apalagi menjatuhkan Bapak. Kalau ada niat seperti itu, tentu kami tidak datang kemari.” Bung Karno terdiam. Ia kemudian menanyakan kemungkinan jalan keluar situasi. Jusuf menyarankan agar Bung Karno memerintahkan Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
Amir Machmud menambah, “Ya, Pak. Tadi Pak Harto juga berpesan sanggup mengatasi keadaan, kalau Bapak Presiden memberikan kepercayaan kepadanya.”
Kepercayaan? Kepercayaan apa lagi yang harus kuberikan kepadanya? Jenderal Soeharto sudah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tapi coba, sampai sekarang tidak aman dan tidak tertib,” jawab Bung Karno.
“Mungkin diperlukan kepercayaan lebih lagi, Pak,” kata Amirmachmud.
“Kepercayaan lebih bagaimana? Apa maksudmu? “
“Semacam surat perintah, misalnya,” sahut Amir Machmud. Soekarno terdiam.
Matanya menatap tajam ketiga jenderal itu. Juga kepada Sabur, yang ikut hadir di situ. Akhirnya Bung Karno setuju. Keempat jenderal itu diperintahkannya membuat konsep surat perintah itu. Selembar kertas disodorkan ke Basoeki Rahmat. Jenderal kelahiran Tuban, Ja-Tim, yang dikenal pendiam itu lalu mengeluarkan pena. Ia mengucapkan“Bismillahirrochmanirrohim” lalu mulai menulis.
Surat Perintah. Itu kalimat pertama yang ditulisnya. Konsep itu kemudian disampaikan Sabur kapada Bung Karno. Ia lalu memanggil ketiga Waperdam, Subandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh, yang sudah ada di Istana Bogor, dan menanyakan pendapat mereka. Hanya Subandrio yang menjawab, “Kalau Bapak tanda tangani, buntutnya akan panjang.” Mungkin karena tidak memperoleh kesepakatan bulat di antara para pembantu dekatnya, Bung Karno masuk ke kamar kerjanya. Waktu itu ia sudah memakai piyama biru dan memakai sandal Bata warna cokelat. Konon, ia sempat sembahyang. Sekitar satu jam Soekarno berada di kamar kerjanya. Setelah satu jam, konsep awal tadi sudah ada coretannya, dan dikembalikan kepada ketiga jenderal tersebut. Basoeki Rahmat kembali membuat konsep baru, yang kemudian disampaikan Sabur kepada Bung Karno.
Akhirnya mereka berkumpul lagi di salah satu ruangan yang lebih besar.Pada pertemuan ini, Bung Karno telah memakai pakaian lengkap, baju putih. Lengan pendek, celana abu-abu, dan memakai pici. Yang hadir: ketiga jenderal tadi, tiga waperdam, dan Sabur yang tetap berdiri. Suasana agak tegang. Hasil rembukan itu diketik Sabur dengan kertas yang berkop Kepresidenan RI. Akhirnya mereka berkumpul di ruang makan Istana. Bung Karno membaca ketikan konsep yang telah disetujui bersama.“Bagaimana, Ban, kau setuju?” tanya Bung Karno pada Subandrio. “Kalau Bapak Presiden sudah setuju, saya setuju,” jawab yang ditanya. Bung Karno kemudian menandatangani surat perintah yang kemudian sangat terkenal itu.
Setelah itu mereka kembali ke pavilyun Istana. Di ruang tamu, mereka mengobrol sejenak. Bung Karno didampingi Hartini duduk di sofa panjang, sedang ketiga jenderal duduk di depan mereka. Leimena duduk di sebelah kiri Bung Karno, sedang Subandrio dan Chaerul Saleh duduk di kanan Hartini. Sabur tetap berdiri. Di ruangan yang tak berjendela itu, semua pintunya dibuka. Muka-muka yang hadir tampak serius. Tak berapa lama, ketiga jenderal itu mohon diri, memberi hormat dan kemudian bersalaman dengan Bung Karno. Sepulang ketiga jenderal itu, Soekarno masih sempat membaca di ruang tamu.
Sekitar pukul 23.00 ia masuk kamar tidur. Di kamar tidur ia masih juga sempat membaca majalah Selecta. Tapi ia tampak gelisah. Sampai pukul 1.00 ia belum tertidur.“Bapak membolak-balikkan badannya ke kiri, ke kanan,” kata Ny. Hartini mengenang. Setelah minum obat tidur, barulah Bung Karno terlelap.
Dalam perjalanan pulang dari Bogor dengan naik mobil, ketiga jenderal itu sempat membaca kembali Supersemar dengan menggunakan senter. Ketiganya kaget setelah menyadari surat perintah itu berarti penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar memang berisi pelimpahan wewenang kepada Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”.
Esoknya, Jenderal Soeharto, atas nama Presiden, mengeluarkan perintah harian kepada segenap jajaran ABRI dan mengumumkan kelahiran Supersemar. Perintah harian itu lalu disusul dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor 1/3/1966. Isinya: membubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah serta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh RI. Akhirnya tuntutan rakyat agar PKI dibubarkan terlaksana. Berita itu segera tersebar. Bukti bahwa masyarakat menyambut gembira keputusan itu terlihat dari sambutan massa terhadap pawai kemenangan yang terjadi 12 Maret 1966 itu. Masyarakat di seluruh Indonesia juga menyambut meriah keputusan itu. Dan awal sebuah sejarah baru pun dimulai.

Read More......

S.M. Kartosoewirjo Tak Ajukan Grasi


Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dituduh melakukan tiga perbuatan: makar terhadap negara, pemberontakan terhadap pemerin­tahan yang sah, dan rencana pembunuhan Presiden Sukarno. Atas upayanya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), Dari tiga tuduhan itu, hanya satu yang diakui oleh Kartosoewirjo, yaitu mendirikan negara Islam (makar). Tuduhan kedua (menggulingkan kekuasaan yang sah) dan ketiga (berencana membunuh Sukarno) dibantahnya. Ia divonis mati oleh pengadilan militer.

Kartosoewirjo dieksekusi setelah grasinya ditolak Presiden Sukarno. Namun, menurut anaknya, Tahmid Basuki Rahmat, ayahnya tak pernah mau meminta pengampunan kepada Sukarno. Pengacaralah yang berinisiatif mengajukan grasi itu.
“Pengacara, kalau tidak salah Mr. Wibowo, yang mengajukan grasi. Cuma ditolak presiden,” kata Tah­mid.
Vonis dijatuhkan pada 16 Agustus 1962. Sekitar awal September, sebuah mobil jip buatan Rusia sudah bersiap di Wisma Siliwangi. Mobil itu yang membawa istri dan anak-anak Kartosoewirjo ke Jakarta untuk dipertemukan terakhir kali. Rombongan berangkat subuh. Lewat Cianjur. Mereka tiba di Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB. Menurut Danti, untuk masuk ke ruang pertemuan, ia harus berjalan di sebuah lorong yang di kiri-kanannya dipenuhi tahanan. “Orangnya gendut-gendut,” katanya. Rombongan tiba dulu di ruangan yang dipenuhi buntalan-buntalan berisi pakaian. Hawanya sangatpanas. Dewi membuka kerudung putih yang dipakainya karena gerah.
Setelah semuanya duduk, baru Kartosoewirjo dibawa masuk oleh tentara. Tahmid mengatakan, tentara yang berjaga sekitar 10 orang. Di antara mereka ada pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden. Selain mereka, hadir pula oditur, hakim, jaksa dan pengacara Kartosoewirjo bernama Mr. Wibowo.
Pertemuan keluarga itu di awal-awal berlangsung haru. Dewi menangis. Anak-anaknya pun ikut terisak. Lalu, mereka disuguhi makan siang oleh TNI. Semua makan, kecuali Kartosoewirjo. Menu makan siang itu adalah nasi padang, tetapi Tahmid mengaku lupa-lupa ingat. Kartosoewirjo hanya minum kopi dan menghisap rokok.
“Dagingnya keras. Sendok saya sampai patah,” kenang Tahmid.
Meski dijaga ketat, tetapi tentara yang berjaga umumnya berlaku ramah. Setelah makan siang selesai, kemudian oditur memberitahu vonis mati Kartosoewirjo dan ditolaknya grasi oleh presiden. Oditur lantas memberikan kesempatan kepada Kartosoewirjo untuk menyampaikan pesan-pesan terakhir.
Menurut Tahmid, Kartosoewirjo mengatakan kematian adalah keniscayaan. Dengan cara apa pun. Lalu, ia berpesan kepada anak-anak agar menjaga ibunya. Kedua, agar mereka menjadi mukmin dan mujahid yang baik. Ketiga, agar seluruh keluarga tidak jauh-jauh dari Siliwangi.
“Tidak ada pesan-pesan perjuangan DI/TII” ucapnya.
Pada saat itu, keluarga Kartosoewirjo meminta beberapa hal. Yakni, agar eksekusi mati disaksikan keluarga atau wakil keluarga. Kemudian, mayat Kartosoewirjo supaya diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan di Malangbong. Atau bila tidak, keluarga diberitahu di mana jasad Kartosoewirjo dikuburkan supaya bisa berziarah.
“Semuanya ditolak oleh Mahadper,” katanya. Meski kecewa, tapi keluarga Kartosoewirjo pasrah. Sekitar pukul 14.00 WIB, pertemuan diakhiri. Keluarga kembali ke Bandung via Karawang. Sejak saat itu, mereka tak tahu lagi apa yang terjadi. Dari koran, tersiar kabar bahwa eksekusi diundur. Namun, juga tak jelas kapan eksekusi itu dilakukan.“Sebulan lebih, tibalah pemberitahuan resmi dari Siliwangi kalau telah dieksekusi,” ucap Tahmid.
Berikut wawancara Irwan Nugroho dan M. Rizal dari majalah detik dengan Tahmid, putra ketiga Kartosoe­wirjo, di rumahnya, Kampung Bojong, Desa Cisitu, Malangbong, Garut, Jawa Barat, pekan lalu.
Tahmid mengenakan baju koko abu­-abu, sarung, dan sepatu kets. Di usianya yang ke­70 tahun, dia sering terkena vertigo dan beberapa kali stroke. Na­mun demikian masih jernih menceritakan kembali pengalaman bergerilya selama 12 tahun (1950-1962) serta mengingat pertemuan terakhir dengan ayahnya sebelum dieksekusi, akhir 1962.
Bisa diceritakan awal mula pertemuan (dengan Kartosoewirjo) itu?
Pada waktu itu kami ditampung di Kodam Siliwangi setelah turun gunung. Usia saya 20­-an, jadi sudah besar. Subuh itu sudah ada yang menjemput. CPM dari Kodam Siliwangi. Katanya diundang mau pergi ke Jakarta untuk pertemuan keluarga sehabis vonis. Vo­nisnya tidak tahu apa. Waktu itu perjalanan agak lama pakai jip. Berangkat lewat Cianjur. Sampai di Jakarta siang. Saya tidak ingat tanggalnya. Cuma sebelum hari H (eksekusi) itu.
Sampai ke situ, kalau tidak salah ini tempatnya di Kejaksaan Agung di Lapangan Banteng. Di situ, oditur, hakim, semuanya lengkap. Kita dikawal Tjakrabirawa dan CPM. Mahadper memberi tahu bahwa bapak su­dah divonis dan vonisnya hukuman mati.
Kemudian, menurut keterangan bapak saya, dia itu tidak mengajukan grasi. Pengacara, kalau tidak salah Mr. Wibowo, yang mengajukan grasi. Cuma ditolak presiden. Maka eksekusi akan dilakukan 5 September 1962. Jadi mungkin hari itu sebelum 5 September.
Terakhir kali bertemu bapak di mana?
Terakhir ya di Bandung, di Mess Perwira di Cium­buleuit. Itu cuma sekali bertemu. Setelah itu, ketemu lagi di Kejaksaan Agung, sekitar dua atau tiga jam siang itu.
Yang masih ingat, dia berpesan antara lain, harus menjaga ibu. Kedua, jadilah mukmin, muslim, dan mujahid yang baik. Kemudian, yang lainnya kalau tidak salah jangan jauh dari Siliwangi. Artinya harus bersama. Sebelum mengungsi ke gunung-­gunung, orang tua kami di sini (Malangbong), latihan Hizbullah dan Sabilillah di sini. Pelatihnya dari Siliwangi.
Waktu itu kondisi Kartosoewirjo bagaimana?
Sebenarnya dia mulai sakit ketika masih di gunung. Terakhir dia juga tertembak pada April 1962. Kemu­dian ditangkap 4 Juni 1962. Nah, ke Bandung diobati. Agustus sudah sembuh dan dibawa ke Jakarta. Kita tahu sudah sembuh itu dari Kodam Siliwangi. Dokter melapor kepada Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie. Katanya Pak Karto sudah sehat, lukanya sudah sem­buh.
Ibrahim Adjie menangis waktu itu. Ditanya kenapa kok menangis? Kata Ibrahim Adjie, “Kalau sembuh bukan lagi wewenang saya. Berarti Pak Karto harus diserahkan ke Jakarta. Saya tidak bisa apa­-apa lagi.”
Waktu oditur menyampaikan Kartosoewirjo divonis mati apa reaksi keluarga?
Kami sedih. Tapi waktu itu kita sudah pasrah. Ini termasuk pesannya. Semua yang hidup ini mesti mati, dan itu merupakan risiko hidup. Kalau tidak mau mati ya jangan hidup. (Eksekusi) mau tidak mau harus dilalui. Itu proses dari manusia hidup kepada mati. Jadi semua pesan waktu itu masalah keluarga saja. Tidak ada masalah perjuangan.
Ibu Anda menyampaikan apa kepada Kartosoewirjo atau Oditur?
Ibu tidak bicara apa-­apa. Kakak saya yang bicara. Minta kepada Mahadper agar eksekusi ini disaksikan oleh keluarga. Kata Mahadper tidak bisa. Kalau tidak bisa seluruh keluarga ya wakilnya saja, itu pun tidak bisa. Katanya kalau tidak bisa, ya sudah mayatnya saja diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan keluarga. Itu juga tidak bisa. Yang terakhir kalau itu semua tidak bisa, nanti keluarga diberitahu saja di mana jenazah dikubur karena untuk berziarah. Itu pun tidak bisa.
Tidak lama kemudian dikirim barang-­barang: baju, jam, dan pipa rokok. Kami cuma diberitahu eksekusi sudah dilaksanakan. Tidak diberi tahu di mana jena­zahnya. Dikuburkan di mana tidak tahu.
Apakah keluarga mencari-cari di mana kuburnya?
Keluarga nggak terlalu mencari. Jelas sudah diku­bur, biar di mana saja, kalau berdoa ya sampai. Cuma tentu saja lebih afdal kalau melihat di mana kubur­nya. Dulu ada cerita-­cerita dikubur di Pulau  Onrust. Katanya ada plang “Di sini dimakamkan imam DI/TII Kartosoewirjo,” tapi saya dan keluarga belum ada yang pergi ke sana.
Sekarang keluarga sudah jelas masalah eksekusi. Tapi masih ada juga pertanyaan, karena waktu lalu keluarga mendengar dikubur di Onrust, sekarang di Pulau Ubi, ini mana yang benar? Bisa saja eksekusi di Ubi, dikuburnya di Onrust. Atau bisa juga eksekusinya di Onrust tapi disebut di Ubi.
Sebelum eksekusi, Kartosoewirjo salat tobat. Anda yakin salat tobat?
Salat tobat itu macam­macam. Ada salat tobat sesudah melakukan kesalahan, atau mung­kin merasa salah. Atau mungkin salat tobat itu peralihan keyakinan mi­salnya dari non­-Islam kepada Islam. Ada juga salat tobat itu memang harus terus­-menerus untuk membersihkan diri, karena manusia ini tempatnya salah. Nah salat tobat yang mana tidak tahu. Cuma, orang tua saya itu biasanya rutin salat tobat. Itu diturunkan kepada anak­-anaknya.
Mengapa Kartosoewirjo mendirikan DI/TII atau NII?
Ceritanya bapak saya itu pegang program tandhim dari Pak Cokroaminoto. Program tandhim itu setelah persatuan para pejuang seluruh Nusantara ini, harus dicapai Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan tidak boleh berhenti, yaitu mendirikan pemerintahan Islam.
Jadi umat Islam bangsa Indonesia harus siap menjadi pelopor tegaknya kembalikhilafah fil ardli. Makanya, setelah revolusi nasional itu harus ada revolusi Islam. Itulah titiknya. Tapi revolusi Islam ini harus dikawal pasukan dan tentara. Itulah akhirnya Hisbullah, Sa­bilillah, laskar-­laskar Islam, termasuk GPII, dijadikan Tentara Islam Indonesia (TII). Setelah itu Masyumi Jawa Barat menjadi lembaga perjuangan revolusi Is­lam yang disebut Majelis Islam.
*******

“Bapakku Di Mana Kuburmu?”

Aku sudah mencarinya ke mana-mana,
Namun belum juga membuahkan hasil
Kini kulitku mulai keriput, rambutku mulai beruban,
Dan tulang-tulangku mulai keropos… 
Namun Aku tak pernah merasa lelah…
Apalagi bosan, untuk terus menelusuri jejakmu..

~dari Sardjono Kartosoewirjo

Read More......